Kamis, 14 April 2011

Jenasah Daniel Mansawan di Office Building 1 Kuala Kencana

Sejumlah perwakilan manajemen PTFI turut hadir pada penghormatan dan pelepasan jenasah Daniel Mansawan di Office Building 1, Kuala Kencana. Daniel Mansawan menjadi korban penyerangan kelompok tak dikenal di Jl. Tanggul Timur Mil 37, areal PTFI kamis (7/4) lalu.

Isak Tangis Penjemputan Jenasah Harry Siregar

Isak Tangis ibu mertua mendekap anak almarhum Harry Siregar saat menjemput jenasah di helipad pos 400 kuala kencana

Rabu, 13 April 2011

Misteri Dibalik Kematian Mansawan-Siregar


Timika – Masih segar dalam ingatan kejadian kamis petang (7/4) lalu, kendaraan Toyota LWB no lambung SA-25 yang dikendarai oleh dua karyawan senior PT. Freeport Indonesia ditemukan dalam kondisi hangus terbakar bersama penumpangnya dengan beberapa lubang dibadan mobil yang diduga bekas tertembus peluru.         
Kejadian yang berlangsung di jalan tanggul timur, mil 37 hanya berjarak beberapa ratus meter saja dari lokasi penembakan yang terjadi sehari sebelumnya terhadap Toyota LWB TRMP (Tailing River Manajemen Project) dengan no lambung 01-4063, yang dikemudikan Abdul Simanjuntak bersama rekannya Agus Pata.

Dua kejadian berlangsung hanya berselang kurang dari 24 jam di lokasi yang hampir berdekatan, memunculkan tanda tanya karena pada hari naas itu, di ruang kerjanya, Wakapolres Mimika Kompol Mada Indra Laksanta, SIK Msi, mengaku sejak pagi pasukan gabungan TNI-Polri telah melakukan penyisiran di lokasi penembakan yang terjadi sehari sebelumnya.

Lantas dimana sejumlah pasukan yang diakui sedang melakukan penyisiran tersebut? Bukankan aparat yang menjaga di areal ini adalah sejumlah pasukan pilihan yang didukung persenjataan memadai, terlebih beredar selentingan sejak serangkaian teror penembakan tahun 2009 silam, perusahaan ini sudah dilengkapi berbagai teknologi pengamanan yang canggih mulai dari pantauan kamera CCTV hingga pantauan satelit.

Ironis memang, seakan tak ada lagi kemampuan semua pihak untuk menyibak sebab-musabab dibalik peristiwa tragis yang menimpa dua karyawan senior Departemen Security and Risk Management PT Freeport Indonesia, Daniel Mansawan dan Harry Siregar, Kamis (7/4) pekan silam.

Mati terpanggang masih dalam keadaan hidup, seperti disampaikan ahli forensik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, dr. Jaya pada, Sabtu (9/4), usai melakukan otopsi dua jasad yang tersisa arang di Rumah Sakit Save Our Soul (SOS), Tembagapura.

Sebuah kejahatan kemanusiaan yang hanya muncul dalam cerita fiksi tetang perebutan kekuasaan antar klan mafia yang penuh dendam kesumat, namun kini terjadi didepan mata kita.

Sekonyong-konyong muncul kesan terbungkamnya hati nurani setiap orang yang mungkin mengetahui jejak-jejak kematian mereka yang kini telah tenang di alam baka, meski tetap menyayat pilu kepedihan isteri dan anak serta keluarga yang ditinggalkan. Seakan tak ada lagi rasa, selain memikirkan pundi-pundi kekayaan yang mampu dihasilkan setiap oknum dari ladang subur penambangan emas dan tembaga, PT Freeport Indonesia (PTFI).

Siapakah yang telah ‘membungkam’ (tak ingin bicara-red) dan ‘dibungkam’,  kini jadi pertanyaan setiap karyawan PTFI bahkan orang di kabupaten Mimika dan Papua yang mengetahui betapa perusahaan multinasional ini begitu getol mengagungkan karyawan sebagai asset terbesar yang patut dan wajib dilindungi keselamatannya dari gangguan apapun, terlebih kematian tragis seperti yang dialami Mansawan-Siregar.

Kalau pun ada niat untuk bicara seperti yang sempat terungkap dalam perbincangan dengan Senior Manager Security and Risk Management (SRM) PTFI, Simon Petrus Morin di Tembapura saat prosesi otopsi jenazah masih berlangsung, Jumat (9/4), yang seakan menampilkan kebingungannya terhadap tindakan kedua almarhum saat kejadian untuk kembali ke tempat kejadian peristiwa (TKP) penembakan, Rabu (6/4).

“Saya juga heran, kenapa Daniel (Almarhum) ini kembali ke TKP, padahal pagi harinya, dia juga sudah kesana. Kita kan sedang menunggu mereka berdua untuk rencana meeting sore itu di Kuala Kencana,” kata Morin yang terkesan mengeluarkan kepedihannya dihadapan isteri almarhum Harry Siregar dan keluarga Mansawan.

Meski niat bicara terdengar hanya terbatas, memunculkan persepsi yang mempertanyakan, siapakah yang telah memerintahkan kedua almarhum untuk kembali ke TKP. Almarhum Mansawan dan Siregar, dalam perspektif ungkapan Morin tentu saja hendak mengatakan bahwa keduanya telah melakukan pelanggaran prosedur karena melakukan pekerjaan tanpa sepengetahuan dirinya, selaku Senior Manager di departemen SRM PTFI.

Namun adakah fakta lain yang mampu menggandeng niat pengakuan Morin?

Departement Coorporate Communication PTFI melalui juru bicara perusahaan, Ramdani Sirait yang selama ini diketahui sebagai satu-satunya corong perusahaan, justru terkesan menutup-nutupi peristiwa sesungguhnya yang telah menimbulkan ketidaknyamanan para karyawan di PTFI. Kalau pun ada niatan buka suara, itu hanya terbatas melalui program short message service (SMS) seolah takut untuk terlibat tanya jawab dengan para jurnalis.

“Keluarga besar PTFI sangat berduka atas meninggalnya kedua karyawan kami tersebut dan rasa belasungkawa sedalam-dalamnya kami sampaikan kepada keluarga korban. Penyampaian rasa duka cita dan solidaritas beberapa karyawan PT Freeport Indonesia berlangsung dengan damai dan kegiatan operasi PT Freeport Indonesia berjalan dengan normal,” tulis Ramdani pada salah satu SMS-nya yang dikirimkan kepada sejumlah wartawan di Timika, sesaat setelah peristiwa penemuan jasad Mansawan-Siregar terjadi.

Sikap yang ditunjukkan pihak perusahaan seolah member signal, betapa harapan keluarga korban, seperti yang diungkap isteri almarhum Mansawan, Welmina Nussy Mansawan, Senin (11/4) didepan Office Building (OB) 1 di Kuala Kencana, yang meminta pihak perusahaan mengungkap misteri kematian suaminya, nampaknya hanya akan tetap menjadi misteri yang sulit terpecahkan.

Kalau pun ada fakta lapangan yang diketahui karyawan PT Freeport Indonesia pada peristiwa kematian Mansawan-Siregar, niatan membuka suara itu pun ibarat menyerahkan diri dalam terkaman ‘singa lapar’ yang siap melahap kehidupan sang karyawan.

Jangankan untuk berbagi fakta dan data yang diketahuinya, untuk menampilkan wujud solidaritas untuk berbagi rasa bersama keluarga korban dengan resiko tidak bekerja, terkesan diliputi kekuatiran yang besar akan sanksi yang mungkin didapat karena tidak bekerja.

Memilih tekanan pihak manajemen pun terpaksa menjadi pilihan satu-satunya bagi karyawan,  meski diliputi rasa takut  memikirkan nasibnya yang juga berpeluang mengalami nasib tragis, seperti yang dialami 4 orang karyawan korban teror penembakan yang sudah pergi mendahului.

Fakta ini menunjukkan bagaimana hati nurani setiap karyawan seakan sengaja ‘dibungkam’, meski dalam kepedihannya mengantarkan jasad almarhum Siregar dan Mansawan yang entah bagaimana bentuknya. Suara nurani pun hanya mampu berteriak, dalam kerumunan massa aksi aksi solidaritas yang spontan menyikapi kejadian tragis ini. ”Jangan bunuh kami..! Kami juga anak negeri..! Kami anak bangsa ini...!.”

Suka tidak suka, mau tak mau! Satu-satunya harapan yang mungkin masih tersisa bagi keluarga korban dan sekian ribu karyawan PT Freeport Indonesia, yang kini harus berpikir dan menantikan kapan gilirannya atau siapa lagi yang menjadi korban? Tinggallah mengharapkan tindakan profesional penyidik dalam nurani untuk menghentikan tragedi yang selama ini telah mempermainkan rasa kemanusiaan di tanah ini. 

Tampaknya masih ada secercah harapan untuk menantikan usaha pimpinan PT Freeport Indonesia, Armando Mahler,  dalam suatu kesempatan berbincang di Tembagapura, Sabtu (9/4) yang meminta jajaran Intelejent Section Departemen SRM PTFI untuk sesegera mungkin membantu pengungkapan kematian misterius Mansawan-Siregar ini.

“Saya minta barang bukti yang ada di Kepolisian dapat dijaga 24 jam dan sesegera mungkin dapat dibantu agar pengungkapan pelaku peristiwa tragis ini dapat diungkap dan pelakunya diberikan sangsi hukum tegas,” kata Mahler saat menantikan penjelasan hasil forensik dr Jaya, disalah satu ruangan Rumah Sakit SOS Tembagapura.

Pernyataan senada juga diungkapkan Vice Presiden Corporate Communication PTFI, Sinta Sirait pada pelepasan jenazah Daniel Mansawan di Office Building 1 Kuala Kencana. “Kami berterima kasih atas kepercayaan pihak keluarga kepada perusahaan dan kami akan berusaha menyelesaikan masalah ini,” kata Sinta yang disambut tepuk-riuh pelayat jenazah almarhum Mansawan.

Akan kah peristiwa demi peristiwa yang terjadi di areal pertambangan emas dan tembaga ini akan terus berlanjut atau dapat dihentikan, tergantung dari keseriusan dan keinginan dari semua pihak untuk mengungkap kasus yang telah mengoyak rasa kemanusiaan. Niatan dari pihak perusahaan, ketegasan dari aparat penyidik dan keberanian dari para karyawan untuk bersuara dan tak diam dengan peristiwa ini niscaya menguak tabir kelam di areal pertambangan emas raksasa ini.    

Saat ini, jerit kesakitan Mansawan-Siregar memang telah tertutupi dalam kehidupan abadi bersama sang Khalik. Namun Mansawan-Siregar lainnya pun masih tersisa, yang meninggalkan misteri dibalik peristiwa ini. Semoga pihak perusahaan tak lupa dengan dengan point penghargaan terhadap hak hidup manusia yang tercantum pada sebuah flayer Hak Asasi Manusia (HAM) tepat di ruang lobby Office Building 1, Kuala Kencana. Dan semoga aparat kepolisian mampu bekerja professional untuk menciptakan rasa aman bagi warga, sehingga tak ada lagi spanduk keprihatinan “kami karyawan bukan hewan buruan”. (TIM)

Senin, 11 April 2011

Aksi Solidaritas Paska Tewasnya 2 Karyawan Senior PT Freeport Indonesia

Beberapa spanduk dan poster yang dipasang oleh pengunjuk rasa di depan kantor PT. Freeport Indonesia (Office Building 1) di Kuala Kencana, sabtu (9/4) lalu.

2 killed as Freeport's car burned in Indonesia

Two employees of US mining giant Freeport were killed when the company car they were traveling in caught fire near the world's largest gold mine in a restive Indonesian province, the company and police said Friday.

Ramdani Sirait, a spokesman for Freeport Indonesia, said police had suggested to them that unidentified gunmen had fired at the car.

However, Maj. Mada Indra Laksanta, deputy chief of local police, said it was too early to conclude that the car was shot at.

Another officer, who spoke on condition of anonymity, said scene investigators had found a bullet casing near the burned car.

Thursday's incident came just one day after unidentified gunmen ambushed a Freeport van, injuring two employees. Sirait said the latest incident did not affect operations at the mine in Papua province, which has been a target of violence since production began there in the 1970s.

Laksanta said that the bodies of the victims were beyond recognition, but the officer identified them as Freeport's Indonesian security manager and his deputy.

The mine is run by Arizona-based Freeport mcmoran Copper & Gold Inc.

Papua, Indonesia's easternmost province, is home to a four-decade-old, low-level insurgency against the government, and members of the Free Papua Movement - who see Freeport as a symbol of outside rule - have been blamed by authorities for the attacks. (AP)

Toyota LWB SA-25 Korban Penyerangan di Jalan Tanggul Timur, Mil 37

Toyota LWB no lambung SA-25 yang ditumpangi Daniel Mansawan (Manager Security Lowland) dan Harry Siregar (Chief Guard Security Lowland) yang ditemukan hangus terbakar dengan beberapa lubang bekas tembakan di jalan tanggul timur, mil 37, areal PT. Freeport Indonesia, kamis (7/4) lalu. 

Rabu, 06 April 2011

Mobil Freeport Ditembaki Orang Tak Dikenal

Liputan6.com, Timika: Mobil milik PT Freeport Indonesia ditembaki oleh orang tak dikenal di jalan tambang tepatnya Mile 37, Timika, Papua, Rabu (6/4) sekitar pukul 14.00 WIT. Tidak ada korban jiwa. Namun mobil mengalami kerusakan. Kaca depan hancur dan bodi kiri terdapat bekas rentetan tembakan.

Penembakan terjadi saat mobil bernomor lambung 01.4063 yang dikemudikan Abdul Simanjuntak dan ditemani Agus Pata kembali dari arah Nayaro menuju Mile 38. Namun di sekitar area Mile 37, mobil tersebut ditembak oleh orang dari arah depan. Namun peluru yang ditembakan pelaku tidak mengenai pengendara.

Terkait kejadian ini, polisi langsung menggelar sweeping di Chek Poin 28 dan jalan masuk Distrik Kwamki Lama. Saat sweping, polisi menemukan satu buah pisau. Polisi juga mengamankan beberapa warga yang kedapatan mengkonsusmsi minuman beralkohol. Kini kasus ini dalam penanganan aparat polisi setempat.(Igho Batmomolin)

Selasa, 05 April 2011

Bentrok Antar Kelompok Warga "Bom Waktu" di Kwamki Lama

SD Negeri Amamapare dan Ruang Kelas

Ironi SD Negeri Amamapare Dalam Gelimang Emas PT. Freeport Indonesia

Timika - Ironis memang jika dibayangkan, bahkan untuk melihatnya saja tak sanggup sepasang mata ini memandang nasib tragis Sekolah Dasar Negeri yang satu ini.

Berada di daerah bergelimang emas dan tembaga yang menjadi salah satu tumpuan masyarakat Indonesia dan dunia, namun entah karena apa, masih harus memanfaatkan kayu mange-mange (bakau) dan sejumlah barang bekas dari PT Freeport indonesia yang disulap menjadi sebuah bangunan sekolah dengan 4 ruang kelas dengan 308 siswa.

Seperti yang diungkapkan Minika Pakairuru, salah seorang pengajar SD Negeri Amamapare, kepada Wakil Ketua Komisi C DPRD Mimika, Muhammad Nurman Karupukaro didampingi sejumlah wartawan saat berkunjung ke Pulau Karaka, awal berdirinya sekolah dasar ini dari keinginan sejumlah warga dan orang tua yang ada di Pulau Karaka, karena banyak anak yang belum mengenyam pendidikan sedangkan akses transportasi cukup sulit dari pemukiman mereka.

Saat dilakukan pendataan calon siswa, tercatat 692 orang namun setelah dikelompokkan berdasarkan umur hanya 308 siswa yang akan mengikuti pendidikan sekolah dasar sedangkan selebihnya yang kebanyakan siswa putus sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas diikutkan dalam program pendidikan kejar paket A dan Paket B.
Minika mengakui banyak kendala yang dihadapi dalam proses belajar mengajar karena fasilitas yang sangat minim, bahkan tak jarang sekolah harus diliburkan jika cuaca tidak bersahabat karena bangunan sekolah yang sangat darurat ini.
”Untuk perlengkapan sekolah yang ada hanya papan tulis saja, sementara yang lainnya, seperti kapur, buku-buku panduan guru, terpaksa diusahakan sendiri oleh guru yang bersangkutan,” ungkap Minika.
Untuk menghidupi para guru honor yang mengajar di sekolah ini, setiap siswa harus membayar iuran bulanan karena hingga saat ini belum ada alokasi dana dari dinas pendidikan kabupaten Mimika. Beberapa bulan lalu sekolah ini sempat mendapat bantuan dana biaya operasional sekolah (BOS) dari dinas pendidikan, yang dipakai untuk membayar honor guru selama 7 bulan.  
tragedi dunia pendidikan Indonesia di era globalisasi mungkin menjadi kalimat yang pas untuk menggambarkan kondisi yang terjadi di SD Negeri Amamapare yang terletak di pulau Karaka, tepat didepan pelabuhan laut perusahaan tambang emas raksasa PT Freeport Indonesia dan berada di dalam kabupaten mimika dengan anggaran pendapat belanja daerah tahun 2011 senilai 1,4 triliun rupiah.

Ironis, dalam kacamata praktis orang kebanyakan akan berhitung, berapa duit kah yang dibutuhkan untuk memberikan fasilitas empat ruang kelas yang layak bagi terciptanya proses belajar mengajar generasi produktif ini?

Atau berapa duit kah yang dibutuhkan untuk menyediakan papan tulis, atau kapur atau spidol atau apapun itu sarana dan prasarana belajar memadai agar terpuaskan batin dan raga generasi ini dimasa dewasanya, bisa mengenyam bangku pendidikan meski kondisi lingkungan kemasyarakatan tradisional.

Nampaknya, kondisi ini tetap menjadi cerita tragis dunia pendidikan, yang tidak akan sempat diperbincangkan para pemegang otoritas dunia pendidikan di negeri ini, karena sejauh mata memandang dan badan merasakan, yang terjadi di daerah Kamoro tanah Amungsa ini memang demikian faktanya.

Bahkan pemerintah pun tak lebih menjadi subordinasi perusahaan tambang raksasa, PT Freeport Indonesia ini, karena nyaris tidak memiliki nilai tawar sedikit pun.

“Memang anak-anak ini seringkali terganggu saat belajar karena ruangan juga belum ada dindingnya,” jelas kepala SDN Amamapare, Yulius Nawipa saat ditemui wartawan di lokasi sekolah.

Entah apa yang terjadi dengan para pemimpin di negeri ini, jika bicara soal politik atau program pembangunan, semua terdengar indah namun dalam pelaksanaan jauh panggang dari api.

Bagi kepentingan yang jelas-jelas menentukan nasib bangsa dan negara ini kedepan, seperti dunia pendidikan yang dialami SDN Amamapare, jangankan kata, nampaknya niat pun seakan tak ada atau sulit muncul pada diri mereka - siapa pun yang merasa memiliki otoritas untuk melakukan intervensi positif demi tertutupnya ‘aib’ bangsa dan negeri ini--.

Entah sampai kapan niat mulia para generasi muda ini (anak-anak) untuk mengenyam pendidikan yang didukung oleh motivasi tak kenal lelah para tenaga guru ini, akan dibiarkan terkubur karena termakan kejenuhan? Akan kah tragedi semacam ini dibiarkan, terpelihara di negeri ini?

Jawabnya hanya ada pada kesadaran nurani para penguasa dengan mitra kapitalisnya! Semoga ada lirikan memandang ‘aib’ tragis SDN Amamapare ini. (OH/SW/AK)

Senin, 04 April 2011

Pemahat Kamoro dan hasil karyanya

Pencapaian Rekor MURI Ternyata Menghasilkan Keluhan

Jubi – Meski hasil pencapaian rekor MURI (Museum Rekor Indonesia), Jumat (18/3) menjadi kebanggaan pemerintah dan sebagian kalangan, ternyata torehan prestasi itu berbuntut keluhan warga Kamoro.
Keluhan itu diantaranya diketahui Jubi Sabtu (19/3) dari salah seorang peserta atau pengukir (pemahat) dalam event HUT Mimika itu, Policarpus Atahapoka yang berasal dari kampong Logg Pound (Pigapu).
“Kami sesalkan karena kami pikir hasil kerja itu akan dibeli pihak pemerintah, ternyata tidak. Begitu selesai panitia hanya bilang terima kasih saja,” aku Policarpus.
Nampaknya pada kegiatan pemahatan massal dalam rangka HUT Kabupaten Mimika ke-10 untuk memecahkan rekor MURI itu, masyarakat pemahat ini (warga Kamoro) hanya dijadikan obyek oleh pemerintah, walau hasilnya memberikan prestisius bagi daerah dan rakyat Mimika dan Papua secara umum.
Dijumpai di dusunnya, Policarpus mengakui awalnya masyarakat berpikir bahwa hasil kerja itu nantinya akan dibeli oleh pemerintah atau siapa pun, ternyata harapan itu hanya isapan jempol saja.
Kepada para wartawan pada peringatan HUT Mimika di halaman Graha Eme Neme Yauware, Bupati Mimika, Klemen Tinal, SE., MM menekankan bahwa moment pencapaian rekor MURI bagi rakyat Mimika melalui kegiatan pemahatan massal kali ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi daerah dan rakyat Mimika.
“Kita bangga atas prestasi pencapaian rekor MURI oleh masyarakat Mimika khususnya masyarakat suku Kamoro yang  telah mengharumkan nama Mimika ke seluruh pelosok tanah air,” ujar Bupati Klemen Tinal.
Bahkan dirinya sempat berjanji akan membuat langkah kongkrit bagi masyarakat pemahat di Mimika melalui sejumlah program yang produktif, seperti pelatihan dan sanggar-sanggar pemahat bagi masyarakat. Termasuk kegiatan festival budaya untuk melestarikan budaya warga asli di kabupaten Mimika,” janji Bupati Tinal.
Meski sejumlah janji-janji sudah diungkapkan oleh Bupati Mimika, namun Policarpus tak bisa menutup kekecewaannya pada hajatan prestisius penciptaan rekor MURI dan sempat mengatakan kalau warga Kamoro benar-benar kecewa karena hasil karyanya seperti tidak dihargai.
Warga Kamoro yang mendiami pesisir pantai kabupaten Mimika, memang memiliki tradisi memahat yang turun temurun dari nenek moyang, namun hingga kini belum mendapat perhatian dari pemerintah setempat, sehingga hasil karya mereka harus dijual murah karena terhimpit kebutuhan ekonomi. (sam wanda)

Proyek Rumah Eme Neme Yauware di Amar Terbengkalai

Rumah Eme Neme Yauware Kembali jadi Keluhan

Jubi - pembangunan perumahan rakyat yang bersumber dari dana program Eme Neme Yauware, kembali hanya menjadi keluhan warga meski sebelumnya juga sudah ada penjelasan penanggungjawabnya bahwa semua keluhan warga itu adalah tidak benar.
Kali ini keluhan disampaikan warga dari Mapuruka, Distrik Mimika Barat Tengah di Kapiraya, Nico Maurita. Dijelaskan Maurita, dalam program tersebut di tahun 2010 silam direalisasikan sedikitnya 30 rumah bagi masyarakat, namun entah apa alasannya sejauh ini rumah tersebut juga belum diselesaikan.
“Warga sendiri yang karena terpaksa membutuhkan sehingga berupaya menyelesaikannya apa adanya, dan untuk tahun 2011 ini direalisasikan sebanyak 20 rumah tetapi nasibnya kembali sama saja. Ini yang kami tidak suka karena justru hanya menyusahkan masyarakat saja,” ungkap Maurita kepada wartawan di Timika, Jumat (18/3).
Dirinya mengakui bahwa, awalnya warga sebenarnya menghendaki agar dana tersebut bisa direalisasikan penyerahannya langsung kepada kepala Distrik, seperti yang diatur dalam juklak (petunjuk pelaksanaan) program Eme Neme Yauware tersebut. Namun karena yang terjadi justru sebaliknya, maka hasilnya hanya menjadi masalah seperti ini.
Dirinya bahkan berjanji akan mengusahakan transportasi bagi pihak media agar dapat melihat langsung fakta pembangunan perumahan tersebut di Kapiraya, alasannya jelas agar jangan lagi ada yang mengatakan bahwa keluhan warga ini tidak jelas atau hanya omong kosong saja.
“Saya akan usaha minta bantuan dari DPRD Mimika untuk bantu biaya BBM agar bisa menyiapkan transport bagi kepentingan itu,” ujar Maurita.
Terkait dengan munculnya keluhan itu sendiri, Kepala Bagian Pemerintahan Kampung di lingkungan Sekretariat Daerah kabupaten Mimika, Wellem Naa, S.Pd sejauh ini juga belum berhasil ditemui untuk dimintai penjelasannya.
Maurita yang mewakili masyarakat Mapuruka mengakui, lebih baik program tersebut hendaknya dilakukan dengan pengawasan tim khusus dan dipantau langsung pihak DPRD sehingga tidak terus-terus seperti ini.
“Kalau kami mengeluh seperti ini tapi pemerintah justru anggap keluhan ini hanya tidak benar, jadi baiknya bagaimana? Masa pemerintah dan wakil rakyat mau terus mendiamkan masalah ini? Ini kan uang rakyat,” tandas Maurita mengingatkan. (sam wanda)